Selasa, 10 Juni 2008

Esai Penuturan H. Widayat pada peresmian Museum Haji Widayat.

Mungkid, 30 April 1994

“Naik Haji dan Mulai Membuat Museum”

Ide membuat museum ini tercetus, setelah kami kembali dari Jepang dari belajar keramik, tata taman dan ikebana di sana.
Kembali dari Jepang, kami mengajar di ASRI lagi (sekarang ISI). Oleh saudara Abas Alibasjah, direktur ASRI pada waktu itu, kami mendapat tugas mengajar praktek seni lukis di bawah ketua jurusannya, Saudara Fadjar Sidik.
Waktu itu Fadjar Sidik menyarankan pada kami, alangkah baiknya bila kami mempunyai inisiatif mengumpulkan karya-karya mahasiswa yang terbaik. Siapa tahu nanti busa dimuseumkan untuk dapat dijadikan studi banding bagi generasi yang akan datang.
Pada periode zamannya Bapak Katamsi, lukisan-lukisan hasil karya mahasiswa pernah penuh memadati gudang. Gudang semakin hari semakin padat, tidak dapat menampung karya mahasiswa dan akhirnya gudang tersebut dibongkar.
Lukisan-lukisan yang bermutu campur aduk dengan yang jelek-jelek dan kemudian dibuang menjadi rayahan para pegawai Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia/STSRI “ASRI” dan siapa saja yang berminat mengambilnya secara sukarela.
Pada waktu itu karya seni memang sukar laku, tidak seperti sekarang ini.
Pada tahun 1962 itu kami mulai mengoleksi karya-karya mahasiswa yang dalam ujiannya mendapat nilai A atau B, untuk nantinya bisa dimuseumkan.
Mereka dengan ikhlas menyerahkan karyanya dan merasa bangga karena mereka sudah dapat pastikan bahwa karya-karya yang dipilih nilai ujiannya pasti A atau B.
Semenjak tahun 1962 sampai hari-hari menjelang pensiun (lebih kurang 25 tahun) telah terkumpul lebih kurang 200 karya.
Nilai sebuah karya seni menurut kami bukan tergantung pada muda atau tuanya Si-seniman yang membuatnya.
Sebagai illustrasi, lukisan-lukisan Picasso pada usianya ke-16 sampai 19 tahun begitu hebatnya, yang harganya pada waktu itu sangat murah, namun sekarang bisa laku sampai jutaan dolar. Begitu juga pelukis-pelukis dunia lainnya, karya-karya yang dibuat pada masa mudanya sekarang ini dicari para kolektor dunia dengan harga terlalu fantastis untuk dipikirkan.
Melanjutkan mengenai mula berdirinya dan nama museum ini dapat kami tekankan bahwa semua itu atas karunia Tuhan Yang Maha Kuasa. Museum ini merupakan pemberian Tuhan Yang Maha Pengasih.
Semenjak tercetus ide ingin membangun museum, sejak tahun 1962-1963 kami selalu berdo’a, mohon kepada Tuhan agar dikabulkan impian kami itu. Sampai pada tahun 1989 mulai ada titik terang, yang mana pada suatu hari tahun 1989 datang seorang kolektor dari Jakarta mengambil satu lukisan berjudul “Monkey Forest” dengan harga yang mahal. Belum pernah sebelumnya kami menerima uang sebanyak itu.
Meskipun uang belum kami terima seluruhnya, rasa puas selalu menyelubungi perasaan kami. Sedang enak-enak membayangkan uang yang begitu banyak yang akan singgah di kocek kami, kok tiba-tiba ……… Ibu Widayat mempunyai usul yang sangat mengejutkan, begini :
“ Pak …. Bagaimana kalau uang itu nanti kita pakai untuk naik haji? Sekarang ini tepat waktunya untuk pendaftaran. Kita kan sudah tua dan mumpung sekarang ini kita masih kuat dan …. “
Waduh, mak prempeng mendengar usul yang datangnya begitu tiba-tiba. Rasa owel, eman-eman, mangkel campur aduk, simpang siur di benak kami. Lha …… kok buat naik haji !
Nanti dulu ah …. Bu ! Jawab kami agak ketus dan kalau kami sudah kelihatan marah, ibu tidak berani melanjutkan bicaranya.
Malamnya, waktu mau tidur kami termenung, terngiang-ngiang usul ibu Widayat. Lama kami pikir, ternyata usul itu sangat mulia atau super mulia malahan.
Hati ini menjadi luluh, dan ibu Widayat yang sudah mulai tidur pulas kami bangunkan dan kami sepakat dengan apa yang diusulkan tadi siang.
Dalam hati, uang hasil jual lukisan kali ini kami gunakan untuk ibadah haji.
Akhirnya dengan tekad yang bulat kami mendaftarkan diri di pendaftaran haji tahun 1989.
Tetapi apa lacur, rupanya uang lukisan tidak lancar pembayarannya dan sampai sekarangpun juga belum lunas. Ketika kami ke Jakarta akan menagih kekurangannya, eee …… kolektor tersebut ternyata sakit keras dan sampai akhirnya meninggal dunia. Terpaksa kami ikhlaskan kekurangannya itu.
Namun kami merasa was-was, jangan-jangan untuk naik haji uang lukisan itu akan banyak kekurangannya.
Dalam keadaan yang serba salah itu, ternyata Tuhan Yang Maha Esa tetap melindungi kami ………
Datang lagi seorang kolektor juga dari Jakarta, memilih enam lukisan sekaligus dengan harga cukup banyak dan cash (kontan), cukup untuk ongkos naik haji beberapa kali (kalau mau). Alhamdulillah menunaikan ibadah haji berjalan sangat lancar.
Di tanah suci Mekah kerja kami hanya berdo’a dan berdo’a, memohon keselamatan dan kesejahteraan keluarga, tidak lupa memohon agar cita-cita untuk membuat museum dapat dikabulkan dan terlaksana.
Kembali dari Mekah pulang ke tanah air, setelah istirahat beberapa hari kami mulai melukis lagi, siap-siap untuk mengadakan pameran tunggal di Jakarta (Bentara Budaya).
Singkat cerita, pameran tunggal berjalan sangat sukses, juga beberapa kali ikut pameran bersama di Gallery lain sukses. Sehingga kami dapat mengumpulkan biaya cukup untuk memulai pembuatan museum ini.
Semua itu dapat terlaksana dan berjalan lancar, dapat kami rasakan berkat do’a yang tidak putus-putusnya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dan semua itu, dipertebal lagi setelah kami membaca kata-kata mutiara dari Bapak AR. Fachrudin (almarhum), yang dimuat dalam koran Kedaulatan Rakyat untuk santapan rohani puasa yang bunyinya demikian :

“Cita-cita Untuk Kaya” .......... Oleh Bapak AR. Fachrudin, kalau ada yang berpendirian bahwa yang pokok asal beriman dan asal beribadah sedang harta benda itu nomor 2 (dua), pendirian itu adalah baik, tetapi baik menurut style lama. Style baru, kita harus mempunyai jangkauan menjadi putra Indonesia yang muslim, yang bertaqwa, rajin beribadah atas dasar ikhlas dan sadar, tetapi juga harus mempunyai rumah gedung indah yang bagus, yang lengkap dan mempunyai kendaraan bermotor bagus dan model terbaru. Selain itu air cukup, penerangan cukup, mebelair cukup dan isipun lengkap dan masih ditambah telepon, radio/televisi dan lain-lain. Serta secara batin kita rajin berjamaah, tekun membaca Al Qur’an dan paham artinya, rajin bertahajud, rajin sholat dhuha, gemar bersilaturahmi, tidak kikir, banyak berzakat, banyak bersodhaqoh, banyak berwakaf, banyak memberikan dana-dana untuk foqoro dan masakin, memperhatikan dan mampu membiayai banyak anak yatim, banyak membiayai berdirinya rumah sakit dan sebagainya. Cita-cita ini harus dibina disemangatkan, digembirakan mulai sekarang. Insya allah ............ man jadda wa jadda.

Kembali ke persoalan masalah awal mula berdirinya museum H. Widayat dapat kami haturkan sebagai berikut :
Karena kami orang Yogya, tentunya juga berusaha membeli tanahnya di daerah Yogya. Dan mengapa kami selalu mencari tanah di luar kota?
Ceritanya begini ......... !
Pada zamannya Pak Soedarso SP. menjadi Atase Kebudayaan di Negeri Belanda, kami sempat menginap di rumahnya, kemudian sempat juga diajak melihat Museum Kohler Muler yang letaknya jauh di luar kota, jauh dari keramaian kota.
Museum Kohler Muler ini sangat mempengaruhi kami dalam perencanaan untuk membangun museum di luar kota.
Kontan ........... setelah kembali ke tanah air kami membeli tanah di daerah dekat Padepokan Bagong Kussudiardjo. Ternyata daerahnya sangat gersang dan susah air ........, akhirnya kami batalkan.
Kemudian lain kesempatan kami beli lagi tanah di daerah Sleman. Daerah ini sangat subur, air melimpah dan akhirnya kami sepakat mulai untuk membangun daerah itu.
Dimulai dengan pengurukan tanah, yang telah menghabiskan biaya lebih kurang 6 juta rupiah. Baru saja pemborong akan menyiapkan meterialnya penduduk setempat mendadak mengirim surat kepada kami yang isinya para pemuda mengajukan tuntutan-tuntutan yang diluar akal wajar, antara lain :
Kami tiap tahun harus mengganti ganti rugi pada penduduk yang mempunyai sawah di kanan kiri gedung museum dengan alasan sawahnya akan berkurang hasilnya, karena sepanjang tahun diteduhi bangunan museum.
Di bawah museum harus dibangun terowongan untuk jalan kerbau dan harus diberi penerangan lampu.
Kalau museum sudah berdiri maka penghasilan parkir harus diserahkan kepada pemuda di sana.

Setelah membaca surat dengan isi tiga tuntutan itu, kontan kami putuskan untuk tidak melanjutkan pembangunan museum, meskipun telah mengeluarkan biaya 6 juta.
Bapak dan ibu serta saudara yang kami muliakan, waktu Bapak Affandi meninggal dunia, beliau meninggalkan sebidang tanah di daerah Pabelan, Mungkid, Kabupaten Magelang. Tanah itu di tawarkan pada kami oleh Ibu Affandi dan kami beli.
Sebelumnya kami mendapat penjelasan dari Ibu Lurah Pabelan (Lurahnya wanita) bahwa tanah itu dapat dibangun museum. Tetapi ternyata setelah kami mengurus IMB nya, dari Bupati mendapat teguran bahwa tanah itu termasuk jalur hijau dan tidak boleh untuk mendirikan bangunan.
Tetapi meskipun Bapak Bupati (Bapak Moch. Solihin waktu itu) melarang, beliau menyarankan supaya kami membeli tanah yang sekarang berdiri Museum Haji Widayat ini.
Maka dari itu, saya sekarang milik warga Magelang dan Yogyakarta.
Museum Haji Widayat ini merupakan museum pribadi karena dibangun dengan biaya dari hasil jerih payah kami dari melukis dan pameran lukisan. Oleh karena itu museum ini kami beri nama “MUSEUM HAJI WIDAYAT”
Sehingga dengan kerja ............. dan usaha tak mengenal menyerah pada tanggal 16 Agustus 1991 Pak Widayat dengan didampingi Sumini (isterinya) dan sekaligus manajernya mengadakan selamatan/kenduri peletakan batu pertama pembangunan museum.

Tidak ada komentar: