Rabu, 11 Juni 2008

Mengenal Lebih Jauh H. Widayat

Dilahirkan tanggal 9 Maret 1919 di Kutoarjo, Jawa Tengah dari ayah Danunoto dan Ibu Jumi. Widayat adalah anak pertama dari lima bersaudara, dan satu-satunya yang terjun di bidang kesenian (seni lukis). Dan bakat seninya itu tumbuh dari ibunya sebagai pembatik.

Pengalaman seni lukis Widayat cukup mengesankan, setelah tamat HIS (Sekolah Belanda) di Trenggalek tahun 1937, ia pindah dan belajar di Bandung, Jawa Barat. Di kota inilah ia bertemu dengan “pelukis hari minggu” Mulyono, dan dapat dikatakan bahwa dari situlah karir kesenilukisan Widayat dimulai.

Tahun 1939, Widayat melamar sebagai pegawai kehutanan sebagai mantri opnamer (juru ukur) dan ditempatkan di Palembang selama lebih kurang tiga tahun. Masa tiga tahun sebagai juru ukur kebun karet sangat membekas dalam hatinya. Ini terlihat dalam sebagian karyanya yang banyak diilhami pengamatannya tentang alam, hewan dan tumbuhan.

Widayat melepas pekerjaannya di hutan karet saat Jepang masuk ke Indonesia tahun 1942. Ia beralih menjadi juru gambar membuat peta rel kereta api Palembang. Tahun 1945 ia bergabung dengan PMC (Penerangan Militer Chusus), dengan pangkat Letnan Satu dan selanjutnya bergabung dengan divisi Garuda Sumatera Selatan tahun 1945-1947, sebagai Pimpinan Seksi Penerangan.
Di tempat inilah Widayat baru bisa meneruskan kembali semangat berkeseniannya lewat publikasi poster perjuangan.

Tahun 1950 ketika ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) dibuka di Yogyakarta, Widayat masuk dan menjadi salah satu dari 45 mahasiswa pertama yang di terima di lembaga baru tersebut. Hal itu karena dia mendapat rekomendasi dari Kantor Urusan Demobilisasi Pelajar (KUDP) yang berkaitan dengan jasanya sebagai prajurit di Sumatera Selatan (1945-1947).
Kawan mahasiswa ASRI seangkatannya antara lain : Hendro Jasmoro, Abas Alibasyah, Edhi Sunarso, Saptoto, Bagong Kussudiardjo, Gambiranom, Gregorius Sidharta, Abdul Kadir, R. Soetopo dan H.M. Bakir.
Sistem pendidikan yang diberlakukan ASRI pada waktu itu disebut dengan “Sistem Proyek Global”, yaitu suatu sistem yang memberikan keberanian dan kebebasan penuh kepada para siswa khususnya dalam pelajaran praktek.
Berkat kerja keras dan bimbingan salah satu dosennya (Hendra Gunawan), tahun 1954 Widayat dapat menyelesaikan ASRI nya.
Bersama-sama rekan seangkatannya yakni Sayoga, G. Sidharta, Murtihadi dan Suhendra, ia (Widayat) mendirikan PIM (Pelukis Indonesia Muda) di Yogyakarta. PIM merupakan sanggar yang menghimpun para seniman seni rupa yang ingin beraktifitas. Sambil aktif di PIM, Widayat dipercaya kembali ke almamaternya untuk mengajar di ASRI.

Ada hal yang tak kalah menariknya, apabila kita juga tahu akan kehidupan pribadinya yaitu Widayat ternyata mampu hidup berpoligami.
Pada tahun 1942 Widayat kawin dengan gadis cantik tetangganya bernama Soewarni dari Kutoarjo.
Dari hidup berumah tangga dengan Soewarni (isteri pertama), Widayat dikaruniai 5 (lima) orang anak (2 perempuan, 3 laki-laki), yang sekarang semua anaknya itu sudah berumah tangga.
Kemudian pada tahun 1959 Widayat menikah untuk kedua kalinya dengan Soemini, asal dari Purworejo. Dari hasil perkawinanya itu juga membuahkan anak dengan jumlah enam orang anak (6 laki-laki). Dan semua anak-anaknya tersebut juga sudah berumah tangga.

Tahun 1960, Widayat memperoleh kesempatan belajar ke Jepang hingga tahun 1962 dengan menekuni atau memperdalam bidang seni keramik, ikebana, pertamanan (gardening) dan grafis.
Begitu kembali ke Yogyakarta, ia ditunjuk sebagai Ketua Jurusan Seni Dekorasi (kini bernama Disain Ruang Dalam) dari tahun 1962-1983.
Pengalamannya sebagai Ketua Jurusan Diruda (Disain Ruang Dalam) dan semangatnya untuk mencoba berbagai media kesenian, ikut mendorong semangat mengkoleksi berbagai karya seniman-seniman yang dikenalnya.
Selain itu Widayat sendiri ternyata juga menjelajah wilayah seni patung, kriya dan mixed media.
Selama berpuluh tahun mengajar, ia tidak pernah menghentikan aktifitasnya dalam melukis (berkarya), dan bersamaan dengan itu, ia juga melakukan pameran di berbagai tempat dan mendapat berbagai macam penghargaan.

Sejak menjadi pendidik di ASRI muncul obsesi untuk mendirikan museum, terlebih setelah pulangnya Widayat dari Jepang (1962). Niat dan keinginan mempunyai museum itu baru terwujud pada tahun 1994. Dengan bangunan megah, museum itu berdiri, terdiri atas dua lantai di Sawitan, Kota Mungkid Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah. Pendirian museum di Kabupaten Magelang ini dapat terwujud setelah berbagai tempat yang dijajaki gagal.

Ia meninggalkan studionya yang terletak di sebelah selatan stadion Mandala Krida Yogyakarta (Sekarang Mien Gallery, Jl. Cendana 13 Yogyakarta) dan kemudian sepenuhnya menempati dan tinggal di museumnya di Kota Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Tahun 1998 Widayat memasuki masa pensiun dan tidak lagi mengajar di ASRI (sekarang Institut Seni Indonesia/ISI). Dan pada tahun 1989 Widayat bersama Soemini (istrinya kedua) menunaikan ibadah haji ke tanah Suci Mekah. Adapun pada tahun 1987, Soewarni (Istri Pertama) telah lebih dulu menunaikan ibadah hajinya di Tanah Suci Mekah.
Dan sejak itu, dalam karyanya tertera tanda tangan h. Widayat (“h” dalam huruf kecil).

H. Widayat wafat dalam usia 83 tahun, pada tanggal 22 Juni 2002 dan dimakamkan di Makam Seniman Imogiri Bantul Yogyakarta berdampingan dengan makam kedua isterinya Hj. Soewarni (meninggal, 22 Februari 1996) dan Hj. Soemini (meninggal, 6 September 2000 dalam usia 68 tahun) yang telah wafat mendahuluinya.

Tidak ada komentar: